Kamis, 06 Maret 2008

Simbolisme Wayang


Simbolisme dalam Wayang

Hidup secara simbolis menyatakan kebebasan sejati.
(Thomas Mann)

Generasi sekarang sudah menganggap wayang adalah kebudayaan antik dan sebaiknya disimpan di museum saja. Wayang dikatakan sudah tidak relevan dengan kehidupan zaman sekarang, menonton wayang juga sangat melelahkan dan membosankan. Khusus untuk wayang kulit, orang-orang menonton semalam suntuk suatu pentas cerita yang diperankan oleh orang-orang yang bahkan tidak mirip orang. Belum lagi musik gamelan yang mengiringinya, sungguh jauh dibandingkan nikmatnya kita mendengarkan musik pop, jazz, rock atau bahkan dangdut sekalipun.

Agar wayang kembali di terima masyarakat luas maka insan pewayangan melakukan berbagai perubahan. Wayang tidak diharuskan menurut pakemnya. Lakon goro-goro dan lawakan ditonjolkan agar tidak membosankan penonton.

Salah satu pemberontakan terhadap “pakem” pewayangan adalah buku “Manyura” karya Yanusa Nugroho. Manyura adalah novel perwayangan berlatar paska perang barata, perang saudara sesama wangsa kuru antara Pandhawa dan Kurawa dalam perebutan kerajaan Hastina Pura.

Seperti yang diungkapkan Bre Redana pada pendahuluan buku manyura tersebut, Yanusa Nugroho melalui novel manyura membalikan keadaan Pandhawa. Yanusa mengacak-acak “sakralitas” pemahaman kekuasaan dengan menggambarkan prabu Yudistira, saudara tertua Pandhawa, berbeda dengan aturan pakem yang berlaku. Prabu Yudistira yang pada dunia wayang dilukiskan sebagai penguasa santun, jujur, tidak suka bohong menjadi sosok yang ternyata sudah badar laku asketisnya. Dalam novel ini Prabu Yudistira ditokohkan sebagai penguasa yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata, tidak peka pada penderitaan rakyat. Bre Redana mengkaitkan gambaran Prabu Yudhistira tersebut dengan mantan tokoh no.1 di negri kita ini.

Sebagai seorang pengarang yang dilakukan Yanusa terhitung berani. Ia memberontak terhadap pakem pewayangan. Yanusa berusaha kreatif untuk menafsirkan budaya tradisional Jawa dengan konteks budaya masa kini bahkan menghubungkannya dengan keadaan politik di Indonesia. Manyura mengingatkan kita pada buku “Arok-Dedes” karya Pramudya Ananta Toer yang dengan pretense sama mengasosiasikan pembaca pada peristiwa tahun 65-an. Namun lepas dari penggunaan karya sastra dan seni untuk kepentingan politis, ada satu pertanyaan yang seharusnya diajukan, apakah pembaruan yang dilakukan terhadap wayang akan membawa kemajuan apresiasi masyarakat terhadap wayang atau malah kehancuran wayang itu sendiri?
Jika benar wayang hanyalah sekedar hiburan rakyat, suatu tontonan yang tidak ada faedahnya untuk tuntunan kehidupan, maka pembaruan akan sangat berguna untuk melawan keusangan, maka pembaruan akan membangkitkan kembali minat generasi muda pada budaya tradisional wayang. Tetapi jika wayang bukan sekedar tontonan semata, karena ada makna dibalik semua cerita itu. Maka pembaruan yang akan dilakukan tanpa pertimbangan matang akan menjauhkan kita dari makna itu. Kita akan bermain-main dengan kulit luar belaka. Sedangkan isinya sudah hanyut ke laut. Sayang sekali bukan filsafat hidup yang diwariskan oleh para leluhur harus lenyap sia-sia hanya karena ingin mempopulerkan wayang.

Fungsi Wayang
Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah pertujukan bayang-bayang.[ Sri Mulyono, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, 1975, Jakarata, Gunung Agung,
hlm. 8-9.] Arti filsafat yang lebih mendalam adalah bayangan kehidupan manusia yang digelar dan dirangkai dalam suatu cerita.

Wayang berfungsi ganda yaitu wayang sebagai tontonan dan wayang sebagai tuntunan.[ Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, 2000, Semarang, Dahara Prize, hlm. 36.] Sebagai tontonan, wayang memperlihatkan seni pertunjukan yang tinggi. Sebagai contoh dalam wayang kulit kita akan menyaksikan perpaduan antara seni rupa, seni musik, dan seni bercerita. Sebagai tuntunan, terdapat banyak pesan moral yang yang terkandung dalm wayang. Kedua fungsi ini berjalan seimbang dan seiring.

Simbolisme dalam Wayang
Pesan-pesan moral yang terkandung dalam wayang menggunakan bentuk simbolis. Tentu saja sang dalang dapat menambahkan pesan-pesan yang lebih aktual dan tersurat. Namun, pesan dalang ini bersifat sementara sesuai dengan keadaan saat wayang tersebut dipertotonkan. Sementara simbol akan tetap ada selama wayang masih esuai dengan patokan atau pakem yang berlaku.

Kenapa wayang sarat dengan simbolisme? Jika pertanyaan tersebut diajukan sebenarnya bukan hanya wayang yang sarat dengan simbol. Cassirer mengungkapkan kita akan menemukan simbol di dalam agama, mite, dan seni.[ F. W. Dillistone, The Power of Symbol, 2002, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 122.] Simbol dapat membuka realitas yang lebih besar dan transenden yang tidak dapat dibahasakan dengan konsep. Fungsi simbol adalah merangsang daya imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan relasi.

Simbol berbeda dengan tanda. Berdasarkan Paul Tillich, Dillistone menulis bahwa tanda besifat univok, arbitrer, dan dapat diganti, karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya itu. Sebuah simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya yang sampai tingkat tertentu diwakilinya.[ Ibid, hlm. 124.] Dalam kisah Mahabaratha misalnya, Pandhawa tidak hanya digambarkan sebagai orang-orang yang baik dan Kurawa sebagai orang-orang yang jahat, tetapi Pandhawa adalah simbol kebaikan itu sendiri sedangkan Kurawa adalah simbol nafsu dan angkara murka.

Matinya Simbol
Zaman modern dengan rasionalitasnya membuat manusia sekarang cenderung untuk membuat kata-kata univok dan menggunakan bahasa matematis. Kata-kata dibuat dengan makna yang sejelas-jelasnya, akibatnya manusia menjadi miskin imajinasi,kurang afektif, kaku, dingin, dan kurang bisa berfikir abstrak.
Saat manusia tidak dapat menafsirkan suatu simbol maka simbol tersebut sudah tidak dapat lagi mengejawantahkan makna yang dikandungnya. Dengan demikian simbol dapat mati karena perkembangan zaman. Sepetinya lonceng kematian simbol dalam wayang sudah berdentang ditandai insan pewayangan yang melakukan pembaruan dengan hanya mengedepankan aspek tontonan dan melupakan aspek tuntunannya.

Bibliografi

Dillistone, F. W., The Power of Symbol, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2002.
Mulyono, Sri,Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta, Gunung Agung, 1975.
______, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta, Gunung Agung, 1979.
Nugroho, Yanusa, Manyura, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Suharyono, Bagyo, Wayang Beber Wonosari, Wonogiri, Bina Cipta Pustaka, 2005.
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Padangan Hidup Jawa, Semarang, Dahara Prize, 2000.
______, Sabda Pandita Ratu, Semarang, Dahara Prize, 2000.

Tidak ada komentar: